JAYAPURA, Reportasepapua.com – Partai lokal Papua Bersatu melalui kuasa hukumnya, Habel Rumbiak meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia agar dapat meninjau kembali UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus).
Permohonan ini diajukan oleh Partai Papua Bersatu lantaran partai tersebut tidak dapat ikut serta sebagai peserta pesta demokrasi yang berlangsung di Indonesia.
Rumbiak mengatakan, hal yang menjadi kendala sehingga Partai Papua Bersatu tidak dapat ikut sebagai peserta pemilu di Indonesia, khususnya di Provinsi Papua dan Papua Barat berada di Pasal 28 UU Otsus yang sifatnya multi tafsir.
“Kenapa partai ini tidak bisa ikut sebagai peserta, karena ada kendala pada pasal 28 UU Otsus. Disana ada ketentuan yang sifatnya multi tafsir, dalam undang-undang Otsus itu ada disebut tentang partai politik. Kita orang Papua memaknai itu sebagai pertain politik lokal, sementara penyelenggara misalnya KPU dan pemerintah berpedapat bahwa itu yang dimaksudkan adalah partai politik secara nasional” kata Habel Rumbiak dalam konferensi pers yang dilaksanakan di Tasangkapura, Kota Jayapura, Minggu (23/6) malam.
Untuk mencari solusi atas kebutuan tersebut, pihaknya sudah melakukan suatu langkah hukum dengan mengajukan Yudisial Review kepada MK.
Karena menurutnya MK sebagai suatu lembaga tinggi Negara dalam system ketatanegaraan berhak untuk menilai apakah suatu undang-undang sesuai dengan UUD 1945.
“Apakah hak-hak dari masyarakat warga Negara Indonesia termasuk yang tergabung dalam partai politik Papua Bersatu ini, apakah mereka memiliki hak juga untuk mendirikan partai lokal dan ikut berkompetisi dalam pesta demokrasi inilah yang kita ajukan” tuturnya.
Dia mengatakan, Yudisial Review yang diajukan Partai Papua Bersatu itu sudah dilakukan pada tanggal 29 Mei 2019 lalu dan telah diterima secara resmi oleh MK dan hanya tinggal menunggu persidangannya.
Menurut rencana, Habel Rubiak mengatakan persidangan itu akan dilaksanakan pada bulan Juli mendatang.
Ditempat yang sama, Pendiri sekaligus Ketua Umum Partai Papua Bersatu, Kris D.J Fonataba menuturkan regulasi yang dilakukan oleh partai tersebut sudah sejalan dengan amandemen UUD 1945 yang merupaka hukum tertinggi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Diungkapkannya, hal-hal yang menyangkut tahapan untuk pendirian partai lokal tersebut sudah dilakukan pihaknya. Bahkan sampai dengan melakukan singkronisasi dan klarifikasi dari Surat Keputusam (SK) partai tersebut yang menjadi bahan perdebatan.
“Memang sempat terjadi perdepata soal SK kami, tapi setelah kami klarifikasi ke Kementerian Hukum dan Ham disitu ada terjadi tindakan hukum dari Kementerian tersebut dan hasilnya itu yang kita gunakan untuk melakukan pendaftaraan ke KPU Papua pada tanggl 13 Oktober tahun 2017 dan juga itu sudah sesuai dengan Peraturan KPU No. 7 tahun 2017 dan juga Peraturan KPU No. 10 tahun 2019” katanya.
Ia juga menuturkan bahwa pihaknya juga sudah melakukan pembentukan di 42 DPD yang ada di Privinsi Papua dan Papua Barat.
“Itus semua sudah kita lakukan sesuai prosedur. Nah bagian inilah yang kita lihat bahwa kita ini sudah dirugikan secara hukum. Padahal kami inikan anak-anak juga anak bangsa yang sudah diatur dalam amandemen baik dalam UUD” tukasnya.
Hal inilah yang menjadi pertanyaan kenapa partai lokal asal Papua itu berbeda jauh dengan partai lokal yang ada di Aceh, sehingga tidak bisa ikut menjadi peserta Pemilu yang dilaksanakan di Indonesia.
Fonataba juga mengungkapkan bahwa pihaknya memiliki sebuah dokumen yang dibuat oleh Pemerintah Pusat terhadap rakyat Papua yaitu tindakan hukum dan dokumen itu sudah disahkan oleh DPR-RI dan didesain dalam bentuk rancangan.
“Yang menjadi pertanyaan, kenapa pada tanggal 19 November 2001 itu UU Otsus dilahirkan tetapi lokalnya dihilangkan. Nah itu yang akan kami pertanyakan di MK nanti. Yang jelas kita akan tetap diikut sertakan dalam Pemilu 2019 karena kami anak bangsa yang punya hak yang sama di Negara ini” tandasnya.
Ditanyai soal tanggapan KPU sewaktu partai Papua Bersatu mendaftar sebagai peserta pemilu, Fonataba mengatakan bahwa KPU sendiri telah menerima seluruh berkas pendaftaran tersebut. Meski telah menerima berkas pendaftaran, dirinya mengatakan bahwa KPU belum bisa melakukan verifikasi dokumen partai tersebut.
“Karena menurut KPU belum ada landasan hukum, sebenarnya sudah ada landasan hukum yang ditetapkan oleh DPR Papua pada tahun 2016 yaitu 3 perdasus dan perdasus itu sudah di kirim ke Mendagri dan Mendagri kirim kembali 3 perdasus itu dengan mengatakan ditinjau kembali” ucapnya.
“Kata ditinjau kembali itu sepertinya hanya kami di partai lokal saja yang bisa menerjemahkannya, oleh sebab itu kita melakukan uji materi di MK terhadap bab 7 pasal 28 ayat 1 yang dibilang penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik” tambahnya.
Sementara itu, Sekrtaris Jenderal Partai Papua Bersatu, Darius Nawipa mengungkapkan sewaktu mendaftar sebagai peserta Pemilu 2019 partai tersebut sudah mengikuti semua tahapan yang dilakukan oleh KPU.
“Bahkan di beberapa kabupaten/kota kami ikut dalam Silon (Sistem Pencalonan) juga. Jadi waktu itu KPU Papua dengan Kesbangpol juga sudah kasih tau ke kami untuk segera mendorong perdasus untuk segera diundang-undangkan sehingga menjadi regulasi atau dasar hukum bagi kita agar dapat diproses oleh KPU” ungkapnya.
Oleh sebab itu dirinya mengatakan atas dasar itu, seluruh kader Partai ini yang juga adalah anak bangsa merasa sangat dirugikan.
Katua DPW Provinsi Papua Barat, Klemens Florens Peday mengatakan Otsus ini bukan hanya berjalana di Aceh dan Papua saja tetapi Papua Barat juga turut menjalankannya.
Peday mengatakan selain Otsus ada juga Undang-undang pemerintahan daerah yang menurutnya mengecohkan orang Papua dari segala sisi pemerintahan yang ada.
“Terutama UU 32 tentan Pemerintahan Daerah. Jadi kita ini mau pake Undang-undang yang mana Otsuskah atau Undang-undagn Pemenrintahan daerah atau dualism Undang-undang yang berjalan. Hal ini yang membuat sampai macam pasal 28 itu dia benar untuk membentuk partai nasional kesannya kan begitu padahal pasal itu adala dalam UU Otsus ini yang membuat Frame beripikir masyarakat di Papua Barat juga kacau” katanya dengan nada tanya.
Peday juga mengisahkan, pada tanggal 5 Februari 2008, Gubernur Papua dan Papua Barat kala itu, Barnabas Suebu dan Abraham Oktovianus Atururi bertemu di Pulau Mansinam dan mengatakan bahwa provinsi boleh 2 tapi Otsus itu tetap satu. “Sebenanrnya sudah singkron, tapi kenapa kami di perslit seperti ini” tegasnya.
UU Otsus juga menurut Peday asasnya sudah sangat jelas yaitu ‘lets general doragete lets spesialist’. “jadi Undang-undang yang khusus mengesampingkan undang-undang yang umum begitu. Asasnya sudah jelas jadi tidak usah banyak putar-putar. Itu sesuai dengan suasana kebatinan intelektual kami orang-orang Papua yang berkumpul dan merumuskan UU Otsus waktu itu. Aceh saja belajar partai lokal dari kita baru kenapa kita tidak bisa dalam NKRI ini” tambahnya.
Wakil Ketua III yang mewakili Perempuan Papua, Penina Kogoya mempertegas bahwa 14 kursi yang ada di DPR-Papua itu harus di akomodir melalui partai lokal.
“Jangan ada kelompok kepentigan yang membawa 14 kursi itu untuk melakukan negosiasi serta koordinasi lanjutan agar kuris itu hanya melalui system pengangkatan saja. Itu tidak boleh terjadi” katanya.
Karena menurutnya 14 kursi yang ada di DPDR Papua yang mewakili Otsu situ sudah kelihatan dan benar-benar mewakili orang Papua.
“yang duduk di 14 kursi itu kami minta untuk tidak melakukan koordinasi-koordinasi kepada siapapun untuk terus menjabat karena kami dengar upaya itu sedang dilakukan” ungkapnya.
Menurutnya, hak OAP hanya bisa disuarakan dari Partai Politik Lokal. “Jadi 14 Kursi Otsus di DPR Papua itu perlu diakomodir melalui partai politik” ujarnya.
Karena hanya partai politik lokal yang punya taring untuk mengawal kebijakan pemerintah daerah untuk membangun Provinsi Papua dan Papua Barat. “Jadi kita minta jangan bikin gerakan tambahan sudah” pungkasnya.
Korwil Meepago, Kenni Ikomou mengungkapkan bahwa permasalaha yang terjadi di Papua khususnya di daerah pegunungan tengah itu adalah akibat dari perbuatan pemerintah pusat yang menarik ulur Papua dengan UU Otsus.
“Ya karena UU Otsus yang dibuat ini multi tafsir dan tidak tegas, banyak yang direvisi padahal intelektual kami yang susun barang itu dulu sudah meyusunya dengan benar. Buktinya ya itu, pasal 28 ayat 1 soal pendirian partai” tegasnya. (yurie)
Salut
Luar biasa Tuhan berkati