Tetap Tangguh Hadapi Stress Pasca Pemilu

banner 120x600

Penulis: Devita Marthin, S.Psi., M.Psi., Psikolog – Ketua IPK (Ikatan Psikolog Klinis) Indonesia Wilayah Papua

 

Beberapa waktu yang lalu, semua warga negara Indonesia baik yang ada di dalam negeri maupun yang ada di luar negeri telah melaksanakan pesta demokrasi melalui pemilu serentak. Pada pemilu tanggal 14 Februari 2024 yang lalu, kita telah memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR RI, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/kota, serta anggota DPD RI. Semua kontestan yang ikut berlaga dalam pemilu serentak ini tentu saja telah mempersiapkan diri mereka jauh-jauh hari sebelumnya, begitu juga oleh lembaga penyelenggara pemilu. Berbagai persiapan dan usaha telah dilakukan sebaik mungkin agar pesta demokrasi ini berjalan lancar.

Secara umum, masyarakat mengenal para kontestan pemilu dengan sebutan ‘caleg’ (calon anggota legislatif). Jumlah caleg pada pemilu serentak tahun 2024 ini cukup banyak jumlahnya, sehingga banyak pula masyarakat yang terlibat dalam mendukung kemenangan calon yang didukungnya misalnya melalui tim sukses dan proses kampanye. Meski demikian, tak jarang juga ditemui adanya masyarakat yang belum mengenal siapa sosok yang akan dipilihnya pada saat pemilu, sehingga menimbulkan kebingungan pada saat akan memilih. Pemilu yang demokratis merupakan situasi pengambilan keputusan yang melibatkan ketidakpastian karena memilih salah satu alternatif mungkin mempunyai konsekuensi yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat. Tidak mengherankan, pemilihan umum yang demokratis dapat dianggap sebagai salah satu peristiwa kehidupan yang penuh tekanan (stressfull life event) baik terhadap para caleg, keluarganya, tim sukses maupun masyarakat yang memilih (Waismel-Manor dkk., 2011). Stressful life events adalah suatu peristiwa bermakna yang berpotensi membuat individu mengalami kondisi stres, sehingga menyebabkan individu mengalami perubahan aktivitas yang sudah dilakukannya sehari-hari (Dohrenwend, 2006). Selain itu, adanya perasaan tidak terkendali ekspektasi yang tidak terpenuhi dari pemilu juga dapat menjadi faktor dari dalam diri yang dapat menimbulkan stress.

Stres pasca pemilu atau yang akhir-akhir ini sering kita kenal dengan istilah ‘post election stress disorder’ merupakan respons yang normal dialami oleh setiap individu, konsepnya nyata,  namun tidak termasuk dalam panduan diagnostik statistik gangguan mental. Meski demikian tetap perlu diwaspadai jika stres ini berlangsung dalam waktu yang lama secara terus-menerus. Ada beberapa gejala yang dapat dilihat jika seseorang mengalami stress pasca pemilu (Pitcho et al, 2018), seperti mudah marah, sulit berkonsentrasi, meningkatnya kecemasan, sulit tidur atau tidurnya tidak nyenyak, berkurangnya nafsu makan atau justru makan berlebih, mudah tersinggung, pesimis, jantung berdebar-debar, maupun sakit kepala.

Meski situasi pasca pemilu tidak bisa kita rubah (seperti hasil perhitungan suara), namun kita tetap mampu mengendalikan respon kita terhadap hasil pemilu. Ketika muncul perasaan sedih, marah atau kecewa terhadap hasil pemilu, hal sederhana yang bisa membantu kita adalah dengan mau mengakui adanya perasaan-perasaan tersebut dan mencoba mengkomunikasikannya kepada orang-orang terdekat kita. Harapannya agar orang-orang terdekat tetap dapat memberikan dukungan sosial bagi kita (Sarafino, 2010) dalam menghadapi situasi pasca pemilu.

Sebagai individu yang tangguh, kita dapat menerapkan beberapa cara berikut untuk mengatasi situasi stress pasca pemilu:

  1. Hindari memikirkan hal-hal yang tidak bisa anda kendalikan, dan hentikan kebiasaan merenungkan hal-hal buruk
  2. Lakukan kembali aktivitas yang anda sukai, yang mungkin saja selama ini tidak sempat anda lakukan.
  3. Batasi diri anda terhadap paparan informasi terkait hasil pemilu yang ditampilkan berbagai media.
  4. Tetap terhubung dengan keluarga maupun rekan yang selalu suportif.
  5. Kenali perasaan dan reaksi anda terhadap situasi saat ini, serta mengakui dan ijinkan reaksi itu anda alami sewajarnya.
  6. Tetap aktif melakukan aktifitas fisik, sebab bergerak dapat membantu kita melepaskan energi yang dialami ketika stress.
  7. Cobalah untuk tidak menghakimi emosi anda atau menilai emosi orang lain, sebab setiap orang berbeda dan membutuhkan hal yang berbeda untuk menenangkan diri.
  8. Mempraktikan psikologi positif. Terlepas dari berbagai pengalaman tidak menyenangkan dalam pemilu, cobalah menemukan berbagai hal positif yang juga anda dapatkan selama proses pemilu ini, misalnya pengetahuan dan pengalaman yang semakin bertambah, serta jejaring sosial anda yang semakin luas.

 

Referensi:

Dohrenwend, B. P. (2006). Inventorying Stressful Life Events as Risk Factors for Psychopathology: Toward Resolution of the Problem of Intracategory Variability. Rockville Pike: National Institutes of Health.

Pitcho, Shani – Prelorentzos et al (2018). Factors associated with post-election psychological distress: The case of the 2016 U.S. presidential election. Psychiatry Research, Volume 266

Sarafino, E. P. & Smith T. W. (2010). Health psychology biopsychosocial interaction. New York: John Wiley & Sons, Inc

Waismol, Israel Manor, Gal Ivergane, Hagit Cohen. (2011).  When endocrinology and democracy collide: Emotions, cortisol and voting at national elections. European Psychoneuropharmachology, Volume 21

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *