Oleh: Peter Tukan
ATAS berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa, pada akhirnya kita menginjakkan kaki di penghujung Tahun 2019 dan insyah Allah, kita masih diberi kesempatan oleh Sang Pencipta semesta alam untuk menapaki gerbang Tahun 2020.
Tentu saja, kepada sanak-saudara yang sudah dipanggil Sang Khalik langit dan bumi untuk pergi mendahului kita selamanya, kita pun terus berdoa, semoga mereka beristirahat kekal bersama Dia yang adalah Awal (Alpha) dan Akhir (Omega) kehidupan ini!
Sepanjang tahun 2019, sudah banyak pengalaman hidup yang kita gumuli bersama. Banyak sisi kehidupan yang kita pandang dan jalani secara bersama-sama. Ada yang memandang sebuah permasalahan (ekonomi, politik, sosial-budaya, keamanan dan sebagainya) dari sisi kiri tetapi ada pula dari sisi kanan untuk satu obyek atau sasaran yang sama.
Cara kita memandang sebuah permasalahan, tentu akan sangat berpengaruh pada cara kita menilai dan bertindak serta berpengaruh pula pada cara kita menyelesaikan persoalan yang sama itu. Dalam memandang sebuah permasalahan bersama, tentu saja kita tidak bisa mengatakan bahwa pandangan atau pendapat saya (kami) yang paling benar dan hanya saya (kami) yang benar, sedangkan pandangan orang lain (mereka) tidak benar atau salah dan itu patut ditolak.
Bagaimanapun juga, kita harus mengakui bahwa dalam kehidupan bersama, tidak seorang atau satu golongan pun memonopoli kebenaran dan keselamatan. Kalau ada satu yang memonopoli, itu hanya Tuhan sendiri!
Salah satu persoalan kehidupan bermasyarakat di Tanah Papua sepanjang tahun 2019 yang menguras energi kita adalah persoalan Hak Asasi Manusia (HAM). Sepanjang tahun 2019 ini, Tanah Papua tidak pernah sepi dari persoalan HAM.
Hormat terhadap HAM merupakan upaya sosial-politik untuk menjamin bahwa apapun kebijakan umum yang diambil, pribadi (martabat) manusia tidak boleh dikorbankan! Terkait HAM itu sendiri, apabila kita memandang ke “Universal Declaration of Human Rights” (10 Desember 1948) maka terdapat tiga kelompok besar HAM yaitu Hak-hak Kebebasan, Hak-hak Demokratis dan Hak-hak Sosial.
Salah satu sisi penting HAM di Tanah Papua yang mengundang perhatian bersama adalah Hak-hak Demokratis, terutama hak rakyat untuk mengontrol pemerintah. Hak ini berdasar pada keyakinan bahwa kedaulatan tertinggi berada dalam tangan rakyat. Oleh karena setiap orang dilahirkan bebas dengan hak yang sama, maka urusan negara menjadi urusan semua warga.
Selain hak rakyyat untuk mengontrol pemerintahnya, juga ada hak kebebasan pers (bdk.Dr.Leo Kleden,SVD:”Penghormatan HAM Sebagai Syarat Perdamaian di Bumi Loro Sae”, Dili,19 Desember 1998).
Selama tahun 2019, terlihat banyak kalangan di Papua melakukan kontrol terhadap pemerintah, baik di tingkat lokal (kabupaten), regional (provinsi) maupun nasional (pemerintah pusat). Kontrol (kritikan) kepada pemerintah (lebih banyak kepada pemerintah pusat di Jakarta) dilakukan melalui berbagai “media”, baik media massa/pers (cetak,elektonik, media online, audio dan audio-visual), media sosial, maupun media lainnya seperti seminar, lokakarya, konferensi, diskusi kelompok yang terfokus (FGD), maupun melalui orasi di panggung unjuk rasa.
Krittikan (kontrol) melalui media yang tersebut di atas telah ikut “mewarnai ” dinamika kehidupan perpolitikan, sosial-budaya, ekonomi, pertahanan-keamanan (Hankam), ketertiban masyarakat (kamtibmas), dan sebagainya di hampir seluruh wilayah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Atas Nama HAM
Realitas kehidupan sosial-budaya, agama, politik, kamtibmas dan Hankam di Tanah Papua pada hari ini, membuka mata kita bahwa setiap orang dan/atau kelompok orang atas nama HAM (kebebasan), melakukan kontrol (kritik) kepada pemerintah.
Kontrol (kritik) yang diberikan itu, bertujuan atau bermaksud baik, malahan sangatlah baik agar tercipta kehidupan bermasyarakat di seantero Tanah Papua yang menghormati dan menjunjung tinggi HAM, yang pada akhirnya bermuara pada terciptanya perdamaian dan kesejahteraan hidup bersama di Bumi Cenderawasi. Inilah cita-cita kita bersama, tanpa seorangpun mengingkarinya. Dan semua orang patut mendukungnya.
Namun demikian, satu hal yang patut direfleksikan pada penghujung tahun 2019 adalah “cara mengontrol atau mengritik” pemerintah (atau siapapun juga) tentu saja akan berpengaruh pada hasil yang ingin kita capai dari kritikan itu.
Banyak kritikan yang diberikan, sebenarnya bermaksud baik untuk kebaikan bersama, namun sangat sering gagal atau tidak berhasil, malahan menimbulkan permasalahan baru yang lebih rumit lagi, lantaran “cara” kita melakukan control (kritik) itu ternyata jauh dari rambu-rambu etika dan moralitas, sopan santun dan tata krama serta tradisi dan budaya ketimuran!
Tentang kritikan yang disampaikan melalui pers, pemerintah atau siapapun juga, harus menghormati kebebasan pers karena itu adalah bagian dari pelaksanaan HAM. Pers adalah penyambung lidah rakyat. Namun, tidak semua kritikan atau kontrol itu harus dilakukan melalui media massa (pers).
Dan tidak semua kontrol/kritikan lewat pers, pasti diterima dengan lapang dada dan dilaksanakan dengan baik oleh orang atau lembaga yang dikritik.
Sering terjadi di banyak daerah konflik atau daerah rawan konflik adalah bahwa sebuah kritikan yang dilakukan secara terbuka melalui media massa, justru akan memunculkan persoalan baru yang lebih rumit.
Mengapa? Karena tidak semua orang berlapang dana menerima kritikan secara terbuka melalui pers, apalagi menelanjangi semua kekurangannya dengan bahasa yang kurang santun dan terukur. Ada oknum atau kelompok orang ataupun institusi yang tidak ingin kekeliruan atau kesalahan yang dilakukannya itu “ditelanjangi” habis-habisan di depan umum melalui pers yang menabrak rambu-rambu etika dan kesopan-santunan.
Sepertinya, masih terdapat banyak orang atau kelompok orang yang merasa sangat puas dan legah, apabila kritikan yang tajam itu sudah disampaikan kepada publik melalui media massa. Dan mereka berharap melalui media massa itulah, orang yang melakukan kesalahan tersebut akan “bertobat” -memperbaiki diri atau meminta maaf.
Bagi mereka, media massa (media sosial) dianggap satu-satunya sarana menyelesaikan persoalan (HAM) dan sarana melampiaskan rasa dendam yang dipendam bertahun-tahun lamanya. Pemikiran dan pemahaman seperti tergambar di atas memang keliru dan banyak kali cara mengritik seperti ini tidak berhasil “memperbaiki” orang atau institusi yang dikiritik serta tidak berhasil mengembalikan situasi yang sudah buruk menjadi normal lagi.
Kadang terjadi adalah karena dikrtik secara sangat telanjang dan terus-menerus di hadapan publik melalui media massa (pers) atau media sosial, maka orang atau institusi yang dikiritik itu akan melakukan pembelaan diri (pertahahan diri) atau akan berbalik membuat suasana yang sudah runyam itu semakin bertambah runyam lagi.
Di sini kita memahami, sebenarnya, kita harus memiliki cara dan seni tersendiri dalam melakukan kritik atau kontrol “atas nama HAM” agar tujuan kita untuk melakukan kontrol dapat mencapai hasil yang diharapkan bersama.
Banyak persoalan pelik yang terjadi di Papua dapat diselesaikan dengan baik dan bermartabat apabila sebuah permasalahan diselesaikan dalam kelompok kecil, berdialog dan berunding secara terus-menerus tanpa merasa bosan dan tidak kenal lelah serta melalui pendekatan pribadi dari Hati ke Hati tanpa harus secara terbuka menelanjangi dan mencaci-maki orang atau institusi yang diduga melakukan kasalahan, sekaligus tanpa mengutuki masa lalu yang kelam!
Keberhasilan sebuah kritik (koreksi) yang kita berikan, tidak harus dengan serta merta diraih sekarang juga. Mungkin keberhasilan dari sebuah kritik akan digapai pada sepuluh atau dua puluh tahun kemudian, bukan kita yang merasakan keberhasilannya, tetapi anak cucu kitalah yang merasakan hasil kritikan yang kita berikan hari ini. Dalam pandangan para pemeluk agama Kristen, “bukankah karya Penebusan Allah itu berlangsung sepanjang zaman?”
Hal yang penting adalah bahwa sekali-kali, kita tidak boleh pernah menyelesaikan permasahan yang mengitari hidup kita dengan perasaan dendam!
Saya mengenal seorang pemimpi agama yang selalu berupaya keras menyelesaikan sebuah permasalahan dengan pendekatan pribadi tanpa diketahui oleh siapapun juga, malahan dia sama sekali tidak ingin apa yang dilakukannya itu dipublikasikan melalui media massa.
Dia selalu menempuh jalan dialog, pertemuan langsung dari Hati ke Hati tanpa menggembar-gemborkan apa yang dilakukannya. Dia bertemu dan berdialog dalam suasana persaudaraan sejati.
Ternyata, apa yang dilakukan itu telah menuai banyak keberhasilan dan terjadi banyak perubahan yang signifikan. Dia selalu berprinsip: “menangkap ikan, tanpa harus mengeruhkan airnya – mengangkat sehelai rambut dari adonan, tanpa merusakkan adonan itu sendiri – menangkap tikus, tanpa harus membakar lumbung padi”.
Baginya, Tanah Papua yang damai bukanlah sekedar keadaan tanpa perang, melainkan Syalom yaitu kepenuhan sejahtera dan kebahagiaan yang dapat diharapkan setiap manusia. Damai itu harus diperjuangkan tetapi juga harus didoakan karena pada dasarnya ia adalah anugerah Allah sendiri. Damai itu akan terwujud di sebuah masyarakat baru yang dilambangkan dalam “langit baru dan bumi baru (Yes.65).
Semoga damai dan keadilan membaharui wajah Bumi Cenderawasih dan melimpahi semua penghuninya dengan kegembiraan dan kesejahteraan berlimpah! Di punghujung tahun 2019 ini, marilah kita renungkan bersama, mumpung kita masih diberi waktu (kata Ebiet G.Ade).
Selamat melepaspergikan Tahun lama 2019 – Selamat menjemput Tahun Baru 2020 yang penuh janji, harapan dan tantangan!
*Peter Tukan: Wartawan aktif (1983-2010)