JAYAPURA, REPORTASEPAPUA.COM – Ketua Dewan Pengurus Daerah Real Estate Indonesia (DPD REI) Provinsi Papua, Nelly Suryani mengatakan, mencari alternatif lain agar rumah subsidi yang telah dibangun lebih dari 1000 unit bisa terjual lantaran kuota rumah subsidi untuk Papua terbatas hanya 500 unit dari 2.245 unit yang disediakan oleh REI Papua tahun 2020.
“Alternatif lain yaitu menjual secara komersial kerjasama dengan perbankan, namun alternatif ini belum tentu bisa dijalankan karena perbankan memberlakukan bunga berlaku pasar atau bunga yang tidak bersubsidi, sementara selisih bunga antara subsidi dan bunga berlaku pasar cukup besar,” kata Nelly, Rabu (15/01/2020).
‘”Misalnya kredit rumah subsidi selama 20 tahun, angsuran per bulan Rp1.300.000, diberlakukan sama dengan komersial selama 20 tahun angsuran per bulan Rp1.900.000, jadi ada selisih Rp600.000, ini cukup besar, masyarakat tidak bisa membayar,” lanjut Nelly.
Dengan kondisi tersebut, pihaknya mengimbau kepada masyarakat agar lebih teliti sebelum membeli rumah terlebih penawaran kredit rumah dengan sistem pembiayaan syariah.
“Pembiayaan syariah untuk KPR belum diketahui secara luas, karena ini merupakan alternatif baru tapi belum diimplementasikan, oleh sebab itu kami mengimbau sebelum membeli pastikan perhatikan surat – surat perizinannya apakah sudah lengkap, kapasitas dari yang jual ini siapa, apakah pengembang yang sudah pernah bangun rumah, perhatikan rekam jejaknya, asosiasi apa yang menaungi, intinya jangan beli brosur,” ucapnya.
Nelly menyebutkan, kuota rumah bersubsidi yang hanya 500 unit tahun ini dinilai menyulitkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk memiliki rumah subsidi atau Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Kendati telah menyampaikan kepada pemerintah pusat untuk penambahan kuota, namun hingga saat ini belum ada tindaklanjut. Rumah subsidi yang dibangun REI di Papua terdapat di 14 kabupaten, jika kuotanya hanya 500 unit, per kabupaten hanya bisa menjual 30 unit dengan jumlah anggota REI 30 developer (pengembang).
“Kami usulkan kepada pemerintah bagaimana caranya agar rumah yang sudah tersedia unitnya dan calon pembelinya sudah ada dan Surat Penegasan Persetujuan Penyediaan Kredit (SP3K) serta Surat Persetujuan Pemberian Kredit (SP2K) ketika terbit tidak kedaluwarsa atau sudah lewat jangka waktunya,” ucapnya.
“Lalu debitur tidak bisa memiliki rumah subsidi, terlebih dengan sistem yang baru diluncurkan yakni aplikasi Sistem Informasi KPR Subsidi Perumahan (SiKasep) dan Sistem Informasi Kumpulan Pengembang (SiKumbang) ini yang sangat memberatkan karena semua harus online,” lanjut Nelly.
Hal – hal yang menyebabkan ketidakadilan bagi MBR di Papua, kata Nelly, adalah infrastruktur dibangun secara masif, tetapi masyarakat tidak bisa memiliki rumah karena sistem yang dibuat satu kebijakan untuk seluruh wilayah. (Ananda)