Sentani, Reportasepapua.com – Puluhan calon anggota legislatif (caleg) yang tergabung dalam Masyarakat Adat Bumi Khenambay Umbay mendatangi Kantor Bupati Jayapura, Papua, Selasa (21/05/2019).
Kedatangan para caleg asli Kabupaten Jayapura ini menuntut agar pemerintah daerah membatalkan hasil pleno KPU Kabupaten Jayapura yang sudah meloloskan 17 caleg non Papua dan 8 caleg Papua.
Jack Puraro, koordinator aksi, mengatakan, dengan keberadaan 17 caleg non Papua yang sudah diloloskan KPU Kabupaten Jayapura, ini sama halnya dengan penjajahan politik di Kabupaten Jayapura.
Dikatakan Puraro, hasil Pemilu Legislatif (Pileg) 2019 di Kabupaten Jayapura sangat memprihatinkan, bahkan hasil itu membuktikan bahwa hak politik orang asli Papua, khususnya di Kabupaten Jayapura sedang dikebiri, dianiaya, dan diinjak-injak.
“Kami sudah memberikan mereka kesempatan usaha dan mencari nafkah di tanah ini, tetapi kenapa hak politik kami juga mau mereka rebut. Ini sama saja dengan penjajahan yang berkedok demokrasi bagi kami putra dan putri asli Bumi Kenambay Umbay,” ujar Puraro kepada wartawan usai berunjuk rasa di Kantor Bupati Jayapura, Selasa (21/05/2019).
Untuk itu, ia meminta semua pihak dapat menegakkan keadilan dan tidak melakukan penjajahan berkedok demokrasi di Kabupaten Jayapura. Dia juga mengucapkan terima kasih untuk pemerintah yang telah membentuk tim guna memproteksi hak-hak orang Papua.
“Kami bersyukur bahwa kami juga akan dilibatkan dalam proses untuk menentukan siapa-siapa saja yang berhak duduk di DPRD Kabupaten Jayapura, sehingga hak kami sebagai anak asli Kabupaten Jayapura benar-benar terakomodir,” tambahnya.
Dia menilai, selama ini pemerintah kecolongan, sehingga banyak masyarakat non Papua yang lolos sebagai anggota legislatif dalam Pemilu 2019.
“Saya tidak bisa bilang kalau Bupati dan Wakil Bupati sebagai pembina politik di sini gagal, tetapi ini kita kecolongan, karena pemerintah ini tugasnya bukan hanya urus politik saja, tetapi ada banyak hal yang dikerjakan. Jadi, fungsi kita sebagai masyarakat juga ikut mengontrol, sehingga hari ini kami datang untuk bagaimana kita lakukan pengawasan secara bersama-sama terhadap hak kami orang asli Papua,” tukas Puraro.
Ia menambahkan, meski tim ini terlambat dibentuk, tetapi pihaknya mengucapkan terima kasih, ada langkah persuasif yang dilakukan pemerintah, sehingga ini tidak bisa dikatakan terlambat, karena sudah dijamin Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus).
“Hanya mungkin ada banyak hal yang dipikirkan, sehingga ada banyak celah yang tidak kita kawal dengan baik,” tukasnya.
Dia mengutarakan, pihaknya akan tetap menuntut hak selaku masyarakat asli Papua di Kabupaten Jayapura. “Jadi, yang saya mau kasih tahu adalah kami akan tetap menuntut hak kami, apapun yang terjadi,” tutur Puraro.
Ditegaskannya, Bupati dan Wakil Bupati Jayapura bukan anak kecil, dimana selaku pembina politik, maka keputusan dan apapun yang dilakukan, sudah pasti dipertimbangkan secara baik, dari sisi hukum dan lain sebagainya.
“Jadi pasti hal ini akan tetap diakomodir dan kami akan kawal terus sampai terjadi. Kalau tidak, kami akan melakukan aksi yang lebih besar lagi di sini hingga dijawab, apapun alasannya, karena dalam Undang-undang Otsus, dimana orang Papua telah dijamin untuk melakukan apa saja di atas tanahnya sendiri,” tukas Puraro.
Secara terpisah, Ketua LSM Papua Bangkit, Hengky Jokhu menyesalkan aksi yang dilakukan para caleg yang tergabung dalam masyarakat adat Bumi Khenambay Umbai.
“Ketika 14 kursi DPR Papua diusung, kami satu-satunya LSM di Papua yang menentang itu. Kami sudah prediksi akan terjadi pengkerdilan hak politik bagi orang asli Papua di Kabupaten. Namun, semua sebut 14 kursi, seperti halnya MRP, adalah amanah Undang-undang Otsus, sehingga kami tidak bisa berbuat banyak, waktu itu,” ujar Jokhu dalam WhatsApp yang diterima reportasepapua.com, Selasa (21/05/2019).
Jokhu meminta pihak-pihak yang selalu membicarakan hak kesulungan orang asli Papua untuk menyebut dalam pasal dan ayat berapa dalam Undang-undang Otsus yang mengatur hak orang asli Papua di DPRD.
“Sekarang bicara hak kesulungan. Coba mereka yang bicara hak-haknya dalam Otsus, sebutkan pasal dan ayat yang mengatur hak OAP di DPRD. Pemilu di Indonesia diatur dengan Undang-undang Pemilu, yakni UU No. 7 Tahun 2017, tidak satu pasal yang akomodir kekhususan Papua, kecuali DKI. Kalau ada yang tuntut hak OAP, silakan revisi Undang-undang Pemilu,” tukasnya.
Dia menilai sangat keliru jika mau menjernihkan air di muara, tetapi seharusnya mengamankannya di hulu. Artinya, ia menjelaskan, substansi dari Undang-undang Pemilu yang semestinya disiasati, bukan mengajukan protes ke KPU atau pemerintah daerah.
“Paling ideal adalah mendukung perbaikan kinerja dan performance 14 kursi DPR Papua dan MRP. Siapa pun kita, harus menghargai proses dan mekanisme demokrasi yang telah dan sedang berlangsung. Semua pihak harus terima hasil penetapan KPU. Kalau pun ada yang tidak puas, silakan persiapkan diri untuk bersaing pada 2024,” pinta Jokhu.
Dia mengingatkan, berpolitik di negara demokrasi seperti di Indonesia dengan mayoritas penduduk masih miskin, tingkat pendidikan relatif rendah, rasio dan logika berorientasi ekonomi transaksional, geografis yang sulit, itu ibaratnya caleg memasuki killing field.
“Di medan laga demokrasi sepert ini, prasyarat umum, misalnya kapasitas, kapabilitas, kualitas, loyalitas, popularitas dan isi tas, hendaknya disiapkan matang. Rakyat tidak mungkin mau dibohongi caleg-caleg yang track record moral dan mentalnya tidak terpuji,” pungkas Jokhu. (yurie)