Oleh
John NR Gobai
Pengantar
Penegakan Hukum dan HAM bagi kekerasan-kekerasan di Papua yang terjadi pada masa 1961 sampai sekarang adalah penting dilakukan karena sejak kekerasan dimulai di Papua telah membuat luka dan tangisan panjang dalam hati orang papua. Salah satu cara untuk mengobati luka hati orang papua adalah dengan melakukan Penegakan Hukum dan HAM melalui pengadilan atas pelaku pelanggar ham di Pengadilan HAM yang independen.
Korban akan puas ketika pelaku disidangkan dan dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Penegakan hukum dan HAM ini hanya dapat dilakukan secara independen jika di bentuk Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR), Komisi HAM Papua dan Pengadilan HAM di Papua dengan dasar UU No 21 Tahun 2001 dan atau dengan dasar Peraturan Pemerintah ketiga institusi ini penting di Papua, karena daerah ini mempunyai sejarah pelanggaran HAM yang panjang, daerah ini mempunyai potensi yang sangat besar untuk terus akan terjadi kekerasan serta Pelanggaran HAM. Pemerintah Indonesia haruslah membentuk 3 (tiga) institusi ini agar masyarakat melihat ada kesungguhan dari Pemerintah, ada jalan, ada pintu bagi penegakan HAM di Papua, sesuai dengan aturan negara Indonesia, karena jika Orang Papua menggunakan cara-cara yang lain maka sudah dan akan dicap macam-macam tidak sesuai dengan substansi masalah penegakan HAM.
Penyelesaian Pelanggaran HAM di Papua tidak bisa hanya bicara bicara saja, demo demo saja dan tidak bisa juga dengan hanya membentuk Tim ini dan itu yang tidak memiliki kekuatan hukum dan juga tidak bisa dibiarkan begitu saja mesti ada pedoman yang mengkombinasikan antara regulasi nasional dan regulasi UU No 21 Tahun 2001 dan akan menjadi turunan dari UU No 21 Tahun 2001
Dalam RUU Otsus yang baru, diharapkan agar Bab Ttg HAM dalam UU no 21 tahun 2001 juga harus tetap di akomodir untuk menyelesaikan akar persoalan di Papua.
Analisa regulasi
UU NO 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia jelas mensyaratkan dibentuk Pengadilan HAM dan Pembentukan KKR dengan Undang Undang.
Pada tahun 2000 melalui amandemen kedua UUD 1945 dalam Bab XA tentang HAM dimasukan sejumlah hak yang pada dasarnya diambil dari instrument hukum HAM internasional baik dari Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) maupun dari Konvenan Internasioanal tentang Hak hak sipil dan politik dan Konvenan internasional tentang hak hak ekonomi, social dan budaya.
Dalam kajian HAM, kategorisasi kelompok Hak Sipil Politik dan Ekosob, harus dipandang saling terkait dan tak terbagi (indivisibility), sehingga tidak menjadikan salahsatu kelompok hak menjadi lebih penting, dibandingkan yang lain. Untuk itu dalam memandang kedua hak tersebut, haruslah diperhatikan mengenai peran negara dalam HAM, agar masyarakat dapat memperoleh hak asasi sesuai dengan Deklarasi Umum HAM dan Konvenan lainnya.
Dalam pelaksanaan selama ini tidak dapat berjalan secara baik karena sejak ditetapkannya UU Otonomi Khusus Papua, Pemerintah belum membentuk Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sesuai Pasal 45 Ayat 2 UU No 21 Tahun 2001. Hal ini juga terjadi karena dalam UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM belum diatur tentang Pembentukan Pengadilan HAM, padahal salahsatu tempatnya harus di Papua sesuai dengan UU No 21 Tahun 2001, dan berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 45 Ayat 1, UU No 26 Tahun 2000, frasa “untuk pertama kali” menunjukan bahwa pembentukan Pengadilan HAM bukan bersifat statis tetapi fleksible sehingga dengan adanya UU yang dibentuk kemudian seperti UU No 21 Tahun 2001 maka dengan Kepres dapat dibentuk Pengadilan HAM ditempat yang lain dalam hal ini di Jayapura untuk Provinsi Papua. Sedangkan untuk Pembentukan KKR walaupun di tingkat nasional UU No 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI).namun karena dalam UU No 39 Tahun 1999 disebutkan KKR dibentuk dengan Undang Undang ini menunjukan dengan Dasar UU Otsus Papua dapat dibentuk KKR di Papua. Terkait Pengadilan HAM, dalam Pasal 45 ayat 2 dan Pasal 46 UU No 21 Tahun 2001 tidak mensyaratkan pembentukan berdasarkan UU KKR yang berlaku secara nasional, karena dalam UU No 21 Tahun 2001 memuat adanya ketentuan ” KKR Papua dibentuk dengan Kepres atas usul Gubernur Papua”, ini menunjukan KKR Papua tidak bergantung pada UU KKR yang berlaku nasional karena salahsatu hal mendasar disusunnya UU Otonomi Khusus Papua, adalah penyelesaian pelanggaran HAM secara bermartabat,maka KKR harus dibentuk di Provinsi Papua dengan Keputusan Presiden.
Karena sejak UU Otsus Papua disahkan hingga kini Pengadilan HAM dan KKR belum dibentuk oleh Pemerintah Pusat maka sesuai dengan kewajibannya bab tentang HAM dalam Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47 UU No 21 Tahun 2001 tetap harus masuk dalam RUU Otsus Papua
KKR Papua
Sesuai dengan regulasi UU no 21 tahun 2001 hal mendasar yang harus diselesaikan oleh KKR Papua sehingga harus diatur dalam Perpres tentang KKR Papua adalah
1.Pelurusan sejarah integrasi.
2.Pelanggaran HAM sejak integrasi sampai tahun 2000.
Tentu ini berbeda dengan KKR Nasional yang didorong oleh Kemenkopolhukam RI, KKR Papua dibentuk dengan Kepres atas usul Gubernur Papua”, ini menunjukan KKR Papua tidak bergantung pada UU KKR yang berlaku nasional karena salahsatu hal mendasar disusunnya UU Otonomi Khusus Papua, adalah penyelesaian pelanggaran HAM secara bermartabat,maka KKR harus dibentuk di Provinsi Papua dengan Keputusan Presiden.
PENUTUP
Situasi Papua belakangan ini membuat berbagai kelompok bertemu Presiden dan Pemerintah pusat dengan menawarkan berbagai tawaran dan usulan, namun menurut saya belum menyentuh solusi akar masalah papua seperti yang dipetakan oleh LIPI. antara lain: Distorsi Sejarah, Pelanggaran HAM masa lalu dan Sekarang,
Untuk itu berdasarkan materi muatan dalam draft yang telah disiapkan oleh DPRP maka Presiden RI wajib menerbitkan Peraturan Presiden tentang Pembemtukan KKR di Papua dan Pengadilan HAM di Papua
Yang kedua, dalam RUU Otsus Papua yang baru kami harapkan agar Bab Ttg Hak Asasi Manusia dalam UU No 21 Tahun 2001 harus tetap diakomodir dalam rangka menyelesaikan akar masalah di Papua.