JAYAPURA,REPORTASEPAPUA.COM – Anggota Komisi II DPR Papua, John NR Gobai menilai jika Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua dan peraturan pelaksananya, belum diakui oleh Kementerian Lingkunan Hidup dan Kehutanan RI.
Hal itu disampaikan oleh John Gobai dalam pertemuan Membedah Masalah dan Menggali Solusi Pasca Liputan Investigasi Tempo “Mesin Cuci Kayu Ilegal’ yang menghadirkan narasumber, Laode M Syarif, Komisioner KPK, Avit Hidayat dari Tempo, Muhammad Kosar dari IPIK, dari Ditjen Gakkum – KLHK dan MRP di Jakarta, baru-baru ini.
“Saya sampaikan adanya regulasi-regulasi yang telah dihasilkan oleh Papua, berdasarkan UU Otsus sudah ada Perdasus Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua dan Peraturan Pelaksananya. Jadi, saya minta Jakarta untuk mengakui UU Otsus,” tegas John Gobai kepada Wartawan di ruang Baleg DPR Papua, Kamis (7/2/19).
Apalagi, kata John Gobai, Gubernur Papua sudah beberapa kali minta kepada Kementerian LHK RI untuk memberikan pengakuan melalui sebuah pengaturan yang namanya Norma Standar Prosedur dan Kebijakan (NSPK) terkait dengan kehutanan.
Maka dalam kesempatan itu, John Gobai meminta KPK untuk menfasilitasi dengan KLHK terkait dengan kepentingan Papua, agar ada keadilan.
Karena selama ini, legislator Papua itu menilai pemerintah lebih menganak emaskan HPH (Hak Pengusaan Hutan) dibandingkan yang lain.
Padahal, lanjut John Gobai, realitanya di Papua, pengusahaan kehutanan ini, bukan hanya dilakukan HPH, tapi ada pelaku usaha-usaha lain non HPH di Papua.
Bahkan kata Gobai, ada juga Perdasus Nomor 21 Tahun 2008 dan Pergub Nomor 13 Tahu 2010, telah dikeluarkan hampir 18 ijin pemanfaatan kayu masyarakat hukum adat.
“Ini yang belum diakui secara hukum oleh Kementerian KLHK dan juga ada masyarakat-masyarakat kita yang juga mengusahakan kayu secara perseorangan yang bermitra dengan pelaku-pelaku usaha di Papua. Jadi itu realitanya,” tekannya.
Selain itu, lanjut John Gobai, ada masyarakat adat pemilik hutan adat yang berhak atas kompensasi, sehingga harus diatur kemitraannya, tidak hanya soal HPH.
“Artinya, berapa kompensasi yang harus didapat dari per pohon untuk masyarakat adat,” ucapnya.
Dijelaskannya, kemitraan antara pelaku-pelaku usaha mandiri perorangan dengan mitra usaha yang akan menampung kayu dari masyarakat.
“Bagaimana pengusaha lokal yang ada di Papua ini, non HPH, tidak mendapatkan stigma ilegal. Karena negara ini tidak didirikan untuk kepentingan pengusaha saja, tapi untuk kepentingan rakyat. Mereka ini bukan rakyat yang ilegal, sehingga perlu payung hukum, bukan hanya payung hukum HPH saja,” tandasnya.
Oleh karena itu, ia meminta Pemprov Papua harus proaktif, jangan diam dengan permasalahan kehutanan di Papua. Sebab, jika dikelola baik, maka bisa menjadi aset PAD bagi Papua, apalagi jika jumlahnya besar.
“Selama ini, kita cukup kasih makan orang di Surabaya dan Makassar karena kayu dari Papua, tidak ada brand dari Papua. Untuk itu, pemerintah pusat harus menyetujui adanya kawasan industri kayu di Papua,” tegasnya.(tiara)