MANOKWARI, Reportasepapua.com – Yan Christian Warinussy, Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua menyesalkan terhadap Keputusan dan Perintah Presiden Republik Indonesia Ir.H. Joko Widodo untuk mengejar dan menangkap pimpinan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) Egianus Kogoya dan anak buahnya di wilayah Kabupaten Nduga-Provinsi Papua.
Pasalnya, itu adalah wujud nyata dari dilanjutkannya pendekatan keamanan melalui pelaksanaan operasi militer di Tanah Papua yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun, karena dalam merancang perintah tersebut, Jokowi sebagai Kepala Negara sama sekali tidak meminta pandangan dari lembaga negara seperti halnya Komisi Nasional (Komnas) HAM.
Sebab menurutnya, wilayah yang akan menjadi objek pelaksanaan operasi militer di Provinsi Papua itu banyak terdapat pemukiman masyarakat sipil Adat Papua. Padahal sesuai amanat UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU RI No.26 Tahun 2000 tentang Pemgadilan HAM serta UUD 1945. Jelas sekali rakyat sipil mendapat perlindungan dari negara.
“Presiden Jokowi selaku Kepala Negara sama sekali tidak menggunakan cara-cara pendekatan yang lebih lunak dalam menyikapi dan menangani konflik sosial-politik dan keamanan di Tanah Papua sepanjang empat tahun pemerintahannya,”kata Yan Christian Warinussy melalui press releasenya yang diterima reportasepapua.com, Selasa (12/03/2019).
Kenapa demikian, kata Warinussy, hal ini semata-mata disebabkan, karena Jokowi senantiasa mendapat masukan dari kalangan militer yang berada pada posisi “ring 1” pemerintahannya.
Oleh sebab itu sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, dirinya mengkritik keras langkah dan perintah Presiden Jokowi yang telah melahirkan hadirnya lebih dari 600 personil TNI saat ini di daerah kabupaten Nduga dan sekitarnya.
“Ini sama sekali tidak nampak negara melalui Presiden Jokowi memberi garansi bahwa rakyat sipil Nduga tidak akan mengalami kekerasan dari aparat keamanan yang akan bertugas melalukan operasi militer di sekitar kampung halaman orang Nduga tersebut,”terangnya.
Maka berkenaan dengan itu, sebagai Peraih Penghargaan Internasional di bidang HAM ‘John Humphrey Freedom Award’ tahun 2005 di Canada juga mendesak Presiden Jokowi untuk segera menarik dan mencabut perintah operasi militer yang sudah dikeluarkannya seminggu lalu.
Kemudian Presiden Jokowi dapat memanggil tiga orang tokoh kunci dialog Papua-Jakarta yang telah ditunjuknya pada tanggal 15 Agustus 2017 yang lalu yakni Pater Dr.Neles Tebay, Wiranto dan Teten Masduki. Agar ketiga tokoh kunci dialog tersebut dapat bersama-sama merancang mekanisme, prosedur dan langkah penyelesaian damai atas konflik sosial-politik yang berkepanjangan setiap saat di Tanah Papua ini.
“Presiden Jokowi dapat pula meminta nasihat dari Dr.Farid Hussein yang pernah ditugaskan oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dahulu dalam penyelesaian konflik sosial-politik di Aceh Nanggroe Darussalam (NAD),”aku Yan Christian Warinussy.
Dikemukakannya bahwa bagaimanapun dirinya percaya bahwa kekerasan tidak dapat diselesaikan dengan kekerasan, termasuk dalam mencari penyelesaian masalah sosial-politik di Tanah Papua.
“Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dikenal dengan sebutan Papua Road Map sudah mencatat dan memberi empat langkah penyelesaian konflik di Tanah Papua,”kata dia.
Salah satunya melalui dialog damai (peacefull dialog). Dimana Prof. Dr. Muridan Wijojo (mantan koordinator peneliti Papua Road Map) menyampaikan pentingnya dialog Papua-Jakarta dengan kata kunci ‘dialog itu tidak akan membunuh siapapun’.
“Jadi seharusnya pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Termasuk TNI dan Polri untuk tidak perlu takut dan segan memulai langkah damai melalui pendekatan dialogis dengan pihak-pihak yamg selama ini dianggap sebagai “musuh negara” seperti halnya TPN PB maupun United Liberation Movement for West Papua (ULMWP),”bebernya.
Ditambahkanya, hal ini harus dilakukan agar segera mengakhiri konflik bersenjata yang senantiasa berimplikasi langsung terhadap kondisi keamanan dan keselamatan hidup serta kehidupan rakyat sipil orang asli Papua di wilayah-wilayah operasi keamanan di Tanah Papua, termasuk di Nduga dan sekitarnya. (one)