Oleh: Peter Tukan*
Sejak sekitar bulan September hingga hari ini, media massa, khususnya di Papua telah banyak menyajikan wacana, gagasan, diskusi, debat hingga polemik yang hampir tak kunjung berakhir tentang pemekaran Provinsi Papua menjadi beberapa provinsi baru. Kiranya, semua itu dilaksanakan dalam iklim yang sejuk, penuh hikmat kebijaksanaan yang pada akhirnya setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka, harus bermuara pada terciptanya keadilan sosial, kesejahteraan bersama dan perdamaian abadi di Tanah Papua – “Sorga kecil jatuh ke Bumi”.
Rencana pemekaran Provinsi Papua menjadi sedikitnya dua provinsi baru, telah menjadi agenda pembahasan Pemerintah Pusat di Jakarta, terutama di tingkat kementerian khususnya Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Ham (Polhukam). Sedangkan di Papua, terjadi diskusi dan perdebatan yang cukup lama dan melelahkan seputar rencana dan aspirasi pembentukan provinsi baru itu lepas dari provinsi induknya.
Ada kelompok masyarakat dan perorangan yang memberikan dukungan bagi usulan dan rencana pemekaran, sebaliknya ada pula yang berkeberatan memekarkan Papua menjadi beberapa provinsi baru. Baik mereka yang mendukung maupun belum setuju itu, senantiasa memberikan alasan mengapa mereka setuju dan mendukung atau mengapa mereka belum malah samasekali tidak mendukung rencana dan aspirasi tersebut.
Hampir semua alasan yang diberikan terkesan masuk akal sehat. Bagi mereka yang belum mau memberikan dukungan bagi pemekaran provinsi, alasan yang diberikan antara lain, masyarakat setempat khususnya Orang Asli Papua (OAP) belum siap mengelola provinsi baru itu. Atau, pemekaran ini hanya akan merugikan masyarakat asli Papua. Begitu pula, pemekaran provinsi merupakan upaya memecah-belah masyarakat Papua malahan sebagai taktik halus memusnahkan masyarakat Papua, serta berbagai alasan lain yang dikedepankan.
Suasana batin yang menyelimuti hati, budi dan perasaan mereka yang berkebaratan atau menolak rencana memekarkan Papua adalah rasa cemas yang sangat-dalam akan kelangsungan hidup masyrakat Papua di atas tanah leluhurnya. Nurani yang gementar diliputi suasana batin yang gelap-gulita, tak akan ada secercah cahaya harapan pun yang menanti di ujung lorong yang gelap itu.
Ada rasa kebingungan, tanpa pegangan dan harapan yang pasti! Sebaliknya, bagi mereka yang mendukung pemekaran, alasan yang diberikan antara lain untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan dan pelayanan masyarakat; semakin mempercepat perputaran roda pembangunan di segala bidang kehidupan, memberdayakan masyarakat setempat secara lebih terkonsentrasi, konsisten dan lebih terencana, meningkatkan partisipasi rakyat dalam pembangunan yang bermuara pada kesetaraan, kesejahteraan, kemakmuran dan perdamaian abadi di wilayah paling timur dari gugusan kepulauan Nusantara ini.
Bagi mereka yang mendukung pemekaran provinsi baru, suasana batin yang menyelimuti hati dan perasaan mereka hari ini adalah rasa optimisme- penuh harapan akan lahirnya suatu masyarakat madani, masyarakat sipil atau “civil society” sebagai masyarakat di Tanah Papua yang demokratis. Tanpa “civil society”, sebuah sistem demokrasi bisa menjadi alat bagi penguasa untuk semakin bertindak sewenang-wenang. Lembaran sejarah Indonesia (tentu termasuk di dalamnya Provinsi Papua) telah ditulis dengan tinta emas dan membuktikan, bahwa bangsa ini telah mengalami bagaimana penguasa “menggunakan demokrasi” untuk melanggengkan kepentingan rezim penguasa. Kita pun bisa menyaksikan sendiri dengan mata telanjang bagaimana “demokrasi” selalu digunakan sebagai alasan untuk menggolkan kepentingan golongan, suku, agama malahan partai politik tertentu di atas kepentingan nasional (termasuk di dalamnya kepentingan seluruh rakyat di Bumi Cenderawasih) terutama kepentingan mayoritas penduduk miskin dan terpinggirkan yang kini bermukim di kampung-kampung terpencil, terisolasi, puncak-puncak gunung dan bukit, lembah dan ngarai, daerah aliran sungai, serta di sepanjang pesisir pantai dan danau. Pemekaran atau Tidak: Sebuah Pilihan Merujuk pada pemahaman tentang masyarakat madani, kita dapat belajar dari pemikiran cemerlang Bung Hatta tentang civil society dimana nilai-nilai demokrasi yang terkandung di dalamnya adalah kemandirian dan tanggungjawab individu, keterlibatan atau partisipasi masyarakat dan hubungan kooperatif antarindividu yang mandiri dalam masyarakat.
Konsep “civil society” tidak dapat dipahami tanpa nilai “kemandirian dan tanggungjawab individu”. Kemandirian dan tanggungjawab individu tentu tidak sama dengan “individualisme”. Kemandirian dalam konsep masyarakiat madani bisa dijabarkan sebagai “mengenali pilihan yang mau diambil dan mampu memilih hal yang diinginkan”.(bdk: “Pancasila Kekuatan Pembebas”, UNPAR, p. 190). Amartya Sen, ekonom pemenang nobel ekonomi 1998 menegaskan, kita menjadi manusia bebas jika kita memilih. Kemampuan memilih menunjukkan bahwa kita bisa bertanggungjawab. Pemahamannya seperti ini: “karena kita tahu apa yang dipilih atau apa yang akan dilakukan, maka kita akan bertindak seturut dengan pilihan dan rencana yang telah disusun”. Patut dicamkan bahwa tanggungjawab bukanlah “akibat” karena kita telah melakukan sesuatu. Kita justru bertanggungjawab karena kita sadar akan pilihan dan mempunyai rencana yang akan diwujudkan.
Tanggungjawab juga tidak sama dengan kewajiban. Tanggungjawab berasal dari pengetahuan, kesadaran, atau dari dalam diri kita sendiri. Sedangkan kewajiban adalah tugas-tugas yang harus dikerjakan berdasarkan perintah atau aturan yang kita terima. Singkat kata, tanggungjawab adalah ungkapan dari dalam diri kita yang keluar dalam bentuk tindakan.
Kewajiban adalah internalisasi perintah atau aturan dari luar ke dalam diri kita, atau penerimaan kita atas apa yang diminta oleh pihak luar supaya kita lakukan. Kembali kepada persoalan pemekaran provinsi baru di Tanah Papua, kita akhirnya semakin menyadari bahwa gagasan atau rencana pemekaran itu merupakan sebuah pilihan. Kita bebas memilih (setuju pemekaran atau menolak pemekaran) dalam iklim penuh hikmat kebijaksanaan.
Pada akhirnya, kita harus bertanggungjawab atas pilihan yang sudah atau akan kita berikan. Memilih untuk tidak memekarkan Papua atau memilih untuk memekarkan Papua menjadi beberapa provinsi baru merupakan sebuah tanggungjawab. Kita harus mempertanggungjawabkan atas pilihan kita ini di hadapan Sang Khalik langit dan bumi – Tuhan Pencipta Semesta Alam, di hadapan seluruh rakyat, alam semesta, para leluhur dan di hadapan Nurani kita sendiri.
*** *Peter Tukan: Wartawan (1983-2010)