OPINI  

MELIHAT PERSEPKTIF MRP SEBAGAI LEMBAGA KULTURAL YANG HARUS SETIA KEPADA NKRI

Ali A. Kabiay, Tokoh Pemuda Papua yang juga adalah Ketua DPD Pemuda Mandala Trikora Provinsi Papua
banner 120x600

Oleh : Ali Kabiay

Majelis Rakyat Papua ( MRP ) adalah lembaga kultural rakyat Papua yang lahir dari amanat UU Otonomi Khusus nomor 21 tahun 2001 , amanat MRP itu terletak pada pasal 77, PP 54 dan Junto 64 , namun MRP juga tidak mempunyai kewenangan yang lebih untuk menentukan keputusan dan aspirasi dari rakyat Papua, dalam nomenklatur MRP , MRP hanya di berikan tugas sebagai lembaga yang menyalurkan aspirasi sebagai pertimbangan serta afirmatif orang asli Papua, MRP juga hanya mempunyai 3 fungsi utama yaitu :

1. Adat
2. Agama
3. Perempuan

Ketiga fungsi dasar MRP tersebut harusnya jalan berbarengan , bersinergi serta memihak kepada rakyat Papua, bukan MRP memihak kepada Eksekutif, Legislatif atau Organisasi manapun , bahkan MRP tidak boleh mengakomodir atau berafiliasi dengan organisasi – organisasi terlarang yang bertentangan dengan negara misalnya United Liberation Movement for West Papua ( ULMWP ), Komite Nasional Papua Barat ( KNPB ) dan Aliansi Mahasiswa Papua ( AMP ) serta organisasi terlarang lainnya.

Rakyat Papua, Polri , TNI, Para Bupati dan berbagai elemen masyarakat menolak Rapat Dengar Pendapat Wilayah ( RDP W ) dan Rapat Pendapat Umum ( RDP U ) tentu dengan berbagai pertimbangan, beberapa pertimbangan tersebut antara lain :

1. Pandemic Covid – 19

Pandemic Covid – 19 yang masih ada di Indonesia membuat Pemerintah harus lebih serius menangani pandemic tersebut termasuk mengingatkan masyarakat untuk tidak berkumpul dalam jumlah yang banyak serta mematuhi protokol kesehatan.

2. Agenda RDP MRP Terindikasi dekat dengan Kelopok separatis Papua

Banyak Kalangan yang menilai bahwa agenda RDP MRP Papua ini hampir sama dengan MRP PB yaitu dekat dengan kepentingan separatis di Papua.

3. Agenda – agenda dan rapat – rapat kerja MRP terlihat sangat tertutup

Agenda dan rapat kerja MRP menjelang RDPW dan RDPU di nilai sangat tertutup, sehingga hal ini menimbulkan rasa curiga dari masyarakat Papua dan pemerintah, seharusnya rapat kerja MRP bisa lebih fleksibel dan terbuka sehingga rakyat Papua dan pemerintah bisa meninjau langsung, serta akses kepada wartawan dan media bisa lebih terbuka, saya melihat justru MRP membuka ruang hanya kepada media – media yang selama ini menyuarakan isu – isu politik Papua Merdeka.

Ketiga pertimbangan di atas adalah sebagian dari ketidak percayaan masyarakat dan pemerintah untuk menolak RDP MRP di Tanah Papua.

Saya membaca dan melihat beberapa tulisan dan opini dari Theo Hesegem dan Pdt Socrates S Yoman setelah membaca tulisan mereka saya berpikir bahwa kedua saudara saya ini sebenarnya tidak melihat beberapa persepktif undang – undang yang mengikat MRP dan undang – undang yang merupakan kewajiban setiap warga negara Indonesia untuk mengamalkannya, yang pertama adalah MRP adalah lembaga negara yang harus setia kepada negara dan bangsa Indonesia hal itu tertuang dalam Pasal 23 UU Nomor 21 tahun 2001.

Pasal 23

( 1 ) MRP mempunyai Kewajiban :

a. Mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengbdi kepada rakyat Provinsi Papua.

b. Mengamalkan Pancasila dan Undang – undang Dasar 1945 serta mentaati segala peraturan perundang – undangan.

Yang kedua adalah seluruh tumpah darah rakyat Indonesia dari Aceh sampai Papua dan dari Rote sampai Miangas sudah tentu terikat dan wajib mengamalkan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat ( 3 ) yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaaan Negara.

Jadi jika ada penolakan RDP dan agenda MRP oleh masyarakat , Pemerintah , Pemerintah Daerah dan semua elemen masyarakat yang merah putih hal itu berarti rakyat dan pemerintah telah mengamalkan UUD 1945 khsusnya pasal 27, jadi jika tim RDP MRP di tolak oleh warga masyarakat di berbagai daerah berarti hal tersebut merupakan hal yang wajar, karena hak bela negara bukan saja di lakukan oleh TNI, Polri dan Pemerintah saja, tetapi merupakan hak setiap warga negara Indonesia, termasuk Theo Hesegem dan Pdt Socrates Sofyan Yoman yang merupakan warga negara Indonesia, sebab mereka juga masih makan, minum , dan berkatifitas menggunakan uang rupiah yang notabene adalah uang Indonesia, saya rasa Theo Hesegem dan Pdt Socrates tak perlu risih dan alergi terhadap aspirasi warga masyarakat yang menolak RDP MRP.

Saya juga mencatat beberapa agenda MRP yang seharusnya tak perlu dilakukan oleh MRP apa lagi MRP merupakan lembaga negara yang terikat oleh undang – undang, beberapa catatan tersebut antara lain :

Sebagian anggota MRP Papua terlihat menjalankan agenda beberapa elit – elit di Papua yang tidak ingin dana Otonomi khusus di audit dan di evaluasi.

Ada agenda tertentu yang di titipkan ke beberapa anggota MRP untuk dapat dimainkan sebagai posisi bergaining agar pemerintah pusat dapat menerima kepentingan elit – elit tertentu di Papua yang menginginkan kekuasaan absolut dan dana yang besar hingga beberapa kali lipat.

Pertemuan Ketua MRP Tomotius Murib dan Direktur Eksekutif ULMWP Markus Haluk di bulan Oktober 2020 menjadi tanda tanya juga untuk rakyat Papua Pemerintah karena MRP terikat dengan Pasal 23 UU nomor 21 tahun 2001, kita juga tahu bahwa ULMWP adalah organisasi terlarang dan bertentangan dengan prinsip kedaulatan NKRI, pertanyaannya adalah apa korelasi antara MRP , Ketua MRP Timotius Murib , Markus Haluk dan ULMWP, jika melihat kembali Pasal 23 UU 21 tahun 2001 maka Ketua MRP Timotius Murib telah melanggar Pasal 23, seharusnya negara memberi sangksi agar ada rasa kepercayaan ( trust ) masyarakat kepada Negara.

Beberapa Tahun lalu Ketua MRP dan beberapa orang berangkat ke Jenewa Swiss untuk membawa laporan pelanggaran HAM oleh TNI / Polri dan Pemerintah Indonesia kepada rakyat Papua, jika melihat tupoksi MRP, MRP tak memiliki kewenangan untuk membawa laporan tesebut ke Swiss , sebab hal tersebut tidak tercantum dalam Undang – undang dan PP tentang MRP, apa yang Ketua MRP lakukan juga melanggar topuksinya sendiri serta tidak melalui pleno dan rapat anggaran.

Transparansi keuangan MRP belum maksimal karena MRP juga menggunakan dana otononomi khusus, seharusnya dana otsus di MRP harus terus di audit secara berkala. Ada beberapa anggota MRP Papua juga yang mempertanyakan hak – hak mereka dan tunjangan mereka terkait pleno, hearing, serta dana mereka yang belum di bayarkan secara intens dan maksimal.

Saya berharap semoga kedepannya MRP Papua bisa mejadi lebih baik lagi dan selalu membawa kepentingan rakyat bukan membawa kepentingan sponsor – sponsor tertentu yang tidak ingin di audit.

Salam Rakyat Papua.
Salam Indonesia.

Tuhan Memberkati.

Oleh : Ali Kabiay
Tokoh Pemuda Papua
( 18/11/20)🇲🇨

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *