Oleh : Abdul Munib / Tokoh Pers
Dalam definisi lama, pers tak sekedar fungsi informasi, kontrol sosial, pendidikan dan hiburan. Tapi setidaknya pers jadi sumber kebenaran materiil dengan menjawab setidaknya enam pertanyaan lima W dan satu H.
Posisinya sebagai kanal tunggal pengelola informasi selama ini, menjadikan pers menjadi opinion leader, pemimpin opini. Bahkan publik opinion maker, pembuat opini publik. Ini semacam tahta kekuasaan di Kerajaan Pena.
Keadaan ini yang membuatnya punya nilai tawar dihadapan kekuasaan politik. Di era ini pers disegani. Dalam kondisi lain juga menarik minat kekuasaan untuk mengendalikannya lewat Departemen Penerangan.
Kematian pers secara hakiki terjadi pada saat wartawan membangun Industri Pers. Industri pers beda dengan pers industri. Dalam pers industri, pers masih jadi substabsi. Tapi dalam industri pers, yang substansi disini adalah industri sedangkan pers hanya aksiden yang sama nilainya dengan komoditas lain : industri garmen, industri otomotif dannkainnya.
Kini pers mengalami kematian ekonomisnya. Ketika media beralih dari cetak, televisi, atau radio ke digital, di ranah medium maya ini pemasukan iklan kalah bersaing dengan kontens non-pers yang lebih menarik. Disinilah pers nasional kehilangan sawah ladangnya berupa iklan. Ketika dulu masih ada kemandirian ekonomis dari iklan, pers masih lumayan tegap berdiri menyatakan independensinya.
Kematian berikut adalah ‘kematian sunyi’ seperti artis kehilangan panggung, karena munculnya pamor artis muda. Media sosial lebih seksi dan dinamis, media lama dipandang sebelah mata. Wartawan di lapangan dikacangin.
Tuah-tuah yang dimilikinya di masa lalu sudah berangsur-angsur menghilang. Apakah pers nasional harus mengalami takdirnya menjalani hari tuanya, sebelum akhirnya tutup usia pelan-pelan. Seperti lagu tempat akhir menutup mata di Indonesia Tanah Air Beta.
Keadaan sekarang banyak menggantungkan dipemerintah. Tentu itu hakikatnya hanya fungsi Humas Swasta saja. Tugas kehumasan yang dilaksanakan oleh pihak ketiga dengan atas nama pers. Kadang kalau tidak sabar dengan keadaan ini banyak teman-teman cari berita Lapan Anam. Menjual berita framing. Menghambakan diri menjadi alat agitasi bagi yang membayar. Atau bahkan menjual rahasia negara. Bahkan
jual hoaks uangnya lebih banyak.
Atau adakah bisa ditemukan perspektif baru agar ia tetap hidup terhormat seperti sedia kala. Membutuhkan rumus-rumus filosofis agar keadaan ini bisa terjawab. Pers Nasional yang masih dibutuhkan oleh bangsa dan negara.
Mari kita hitung aset pers nasional kita. Sumber daya manusia yang tersebar diseluruh provinsi bahkan kabupaten.
Memiliki kekayaan sejarah sebagai pers perjuangan. Memiliki jasa menanamkan budaya berfikir cek dan balansing di masyarakat Indonesia. Memiliki tradisi kecintaan kebangsaan. Masih banyak lagi.
Untuk itu perlu dicari titik temu, agar bangsa Indonesia melalui negara untuk diberi ruang berpendapat. Mau diapakan pers nasional kita. Dikebumikan rame-rame atau dicarikan jalan keluarnya. (adv)